Selasa, 10 Maret 2009

SEMINAR DAN MUSDA IPI BALI

Perpustakaan dan Akselerasi Pemberdayaan Masyarakat

Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), mungkin tidak banyak orang mengetahuinya. IPI memang tidak sepopuler PGRI, misalnya. Padahal sebagai sebuah organisasi profesi IPI sudah cukup lama berdiri.

Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) didirikan pada tanggal 6 Juli 1973 dalam Kongres Pustakawan Indonesia yang diadakan di Ciawi, Bogor, 5-7 Juli 1973. Kongres ini merupakan perwujudan kesepakatan para pustakawan yang tergabung dalam APADI, HPCI dan PPDIY dalam pertemuan di Bandung pada tanggal 21 Januari 1973 untuk menggabungkan seluruh unsur pustakawan dalam satu asosiasi. Dalam perjalanan panjang sejarah perpustakaan di negeri ini, jauh sebelum IPI lahir, sudah ada beberapa organisasi pustakawan di Indonesia. Mereka ini adalah Vereeniging tot Bevordering van het Bibliothekwezen (1916), Asosiasi Perpustakaan Indonesia (API) 1953, Perhimpunan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia (PAPSI) 1954, Perhimpunan Ahli Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Indonesia (PAPADI) 1956, Asosiasi Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Indonesia (APADI) 1962, Himpunan Perpustakaan Chusus Indonesia (HPCI) 1969, dan Perkumpulan Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta (PPDIY).

Dalam Kongres Pustakawan Indonesia tahun 1973 tersebut, ada dua acara utama yang diagendakan, yaitu (1) seminar tentang berbagai aspek perpustakaan, arsip, dokumentasi, informasi, pendidikan, dan (2) pembentukan organisasi sebagai wadah tunggal bagi pustakawan Indonesia. Berkaitan dengan acara yang disebut terakhiri, Ketua HPCI Ipon S. Purawidjaja melaporkan bahwa sebagian besar anggota HPCI, melalui rapat di Bandung tanggal 24 Maret 1973 dan angket, setuju untuk bergabung dalam satu organisasi pustakawan. APADI pun memutuskan bersedia meleburkan diri melalui keputusannya tertanggal 4 Juli 1973, dan terhitung sejak 7 Juli 1973 APADI bubar sejalan dengan terbentuknya IPI.
Dengan kesepakatan bersama itu, maka kongres Ciawi melahirkan wadah tunggal pustakawan Indonesia, yaitu Ikatan Pustakawan Indonesia. Pemilihan untuk Pengurus Pusat, yang didahului dengan penyampaian tata tertib pemilihan, menghasilkan a.l. ketua Soekarman, sekretaris J.P. Rompas, dan bendahara Yoyoh Wartomo. Komisi yang terbentuk di antaranya adalah Komisi Perpustakaan Nasional yang diketuai oleh Mastini Hardjoprakoso, Perpustakaan Khusus oleh Luwarsih Pringgoadisurjo (alm.) dan Pendidikan Pustakawan oleh Sjahrial Pamuntjak. Pada tanggal 7 Juli 1973 itu juga Anggaran Dasar IPI yang terdiri dari 24 pasal disahkan oleh peserta Kongres.

Terkait dengan misi dan visi IPI, pada Rabu, 11 Maret 2009, IPI Daerah Bali telah menyelenggarakan Seminar Ilmiah dan Musda ke-3. Menurut Ketua Panitia, M. Usman Abroni, S.Sos. kegiatan yang mengambil tema "Perpustakaan dan Akselerasi Pemberdayaan Masyarakat" ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan peran IPI dalam forum kerjasama perpustakaan dalam pembangunan. “ Seminar dan Musda ini diharapkan akan dapat meningkatkan koordinasi, penyamaan visi, serta meningkatkan wawasan, intelektualitas dan profesionalisme pustakawan dalam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi global”, ujar Usman dalam laporannya.

Kegiatan yang dilaksanakan di Aula BLPP – Sesetan ini, mempunyai agenda utama pemilihan pengurus dan penyusunan program kerja IPI periode 2009-2011 serta seminar ilmiah. Seminarnya menampilkan empat orang narasumber, yaitu : IB. Mahasadi, S.Sos.M.Si (Biro Organisasi Setda Provinsi Bali), Drs. Kt. Sri Setiabudi, BA. (Perpustakaan Umum Kab. Badung), Albiner Silaen, SE. (Badan Perpustakaan & Arsip Prov. Bali), dan Drs. Putu Suhartika, M.si. (Perpustakaan UNUD).

Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Bali, Ni Luh Putu Praharsini, SH, dalam sambutan pembukaannya menyampaikan bahwa, dalam menyikapi era keterbukaan, persaingan sehat, transparansi serta tuntutan akuntabilitas kepada publik / masyarakat luas, maka IPI sebagai wadah dari organisasi pustakawan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam memenuhi tuntutan memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya dalam pengembangan dan pemberdayaan perpustakaan.

Praharsini menegaskan, menarik atau tidaknya profesi pustakawan tersebut sangat tergantung atau berpulang kepada pustakawan itu sendiri. Sebab secara formal pemerintah telah mengakui dan menetapkan bahwa jabatan fungsional pustakawan merupakan salah satu jabatan fungsional sebagaimana jabatan fungsional yang lain seperti guru, peneliti dan lain sebagainya. Bentuk formal pengakuan pemerintah tersebut adalah dikeluarkannya SK Menpan Nomor 33/Men/PAN/1998 dan direvisi SK Menpan Nomor 132/Kep/Men/PAN/12/2002, dan lahirnya Undang-undang Perpustakaan Nomor 43 Tahun 2007

Dalam pembukaan kegiatan yang dihadiri kurang lebih 150 orang pustakawan tersebut, Praharsini menegaskan bahwa, sebagai organisasi profesi di bidang perpustakaan dan informasi IPI seharusnya dapat lebih berperan dalam meningkatkan mutu profesi para anggotanya. “Pertemuan ilmiah dan seminar hendaknya bisa dilaksanakan berkesinambungan, minimal dua kali dalam setahun. Karena seminar / pertemuan ilmiah merupakan wahana untuk dapat meningkatkan pengetahuan, wawasan, bahkan penghayatan atas nilai-nilai profesional yang diperlukan”, ucap Praharsini di hadapan peserta Seminar dan Musda IPI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar