Kamis, 01 Oktober 2009

RUU KEARSIPAN DISAHKAN MENJADI UNDANG-UNDANG

PROGRESIF DAN REVOLUSIONER


Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kearsipan Sayuti Asyatri menilai banyak hal-hal yang bersifat progresif dan revolusioner yang dituangkan dalam undang-undang baru pengganti UU No 7/1971 mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan. Paling tidak, jika UU 7/1971 hanya memuat 13 pasal, maka RUU ini mencapai 90 pasal. Itu berarti terjadi kenaikan hampir 900 persen. “Jadi RUU ini memberi kewenangan yang lebih luas mengenai masalah kearsipan,” kata politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu sebagaimana dikutip dari portalnya ANRI.

Menurut Sayuti, perubahan mendasar terjadi pada sistem jaringan kearsipan nasional. Kemudian juga ada perintah yang tegas dalam RUU ini, yakni penguatan peran serta masyarakat dan tekanan mengenai bagaimana mengembalikan arsip-arsip di tempat lain ke arsip nasional. Selain itu, pengertian arsip juga diperluas, sebagai sambungan dari memori kolektif bangsa. “Pengertiannya bukan hanya arsip sebagai dokumen, melainkan juga dalam bentuk barang warisan budaya seperti meja, batu dan lain sebagainya. Nanti akan ada pengaturan lagi. Sebab kalau warisan budaya itu terbuka untuk umum sedangkan arsip itu harus ada yang dirahasiakan. Tapi paling tidak siapa yang memerlukan bisa mengaksesnya,” katanya lagi.

Dalam RUU ini, masih menurut Sayuti, juga ditekankan aspek pelayanan kepada masyarakat, yakni dibuat semacam standar pelayanan yang akan dilaksanakan oleh para pejabat pelaksana di bidang kearsipan. Mereka harus memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh arsip. “Ini kita sinkronkan dengan UU mengenai Kebebasan Memperoleh Informasi,” ujarnya.

Yang menarik, komunitas kearsipan juga bakal mempunyai istilah baru, yakni Daftar Pencarian Arsip atau DPA. Istilah ini digunakan untuk “memburu” arsip-arsip yang dinyatakan atau diumumkan sebagai harus berada di lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Ini tertuang dalam RUU Kearsipan yang akan menjadi pengganti UU No 7/1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan.

“Jadi kalau polisi punya DPO, kami juga punya DPA. Intinya sama, yakni sama-sama merupakan daftar pencarian atau arsip yang harus diserahkan kepada arsip nasional. Jika tidak, maka pemegang arsip itu akan dikenai sanksi pidana,” kata Kepala ANRI Djoko Utomo di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Djoko menjelaskan, DPA ini merupakan satu bentuk kesungguhan lembaga kearsipan dalam mengumpulkan arsip-arsip yang bernilai sejarah bagi bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, ANRI akan mengumumkan (declair) berbagai arsip yang dirasa perlu untuk segera dikembalikan ke ANRI.

“Misalnya arsip Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1965). Setelah lembaga kearsipan declair DPA karena kita mengetahui ada orang yang menyembunyikan arsip itu, maka jika dia tetap tidak mengembalikan arsip dimaksud akan dipidana” ujar Djoko mengingatkan.

Selain itu, Djoko juga berpendapat bahwa ANRI tidak hanya fokus pada sanksi melainkan juga penghargaan. “Artinya, bagi mereka yang seharusnya mengembalikan arsip tetapi tidak dilakukan maka akan dikenai sanksi (punishment), sedangkan mereka yang dengan kesadaran sendiri menyerahkan arsip kepada ANRI akan diberi penghargaan (reward),” katanya lagi.

Dengan begitu, Djoko sekaligus ingin terus mendorong kampanye sadar arsip di tengah masyarakat. Jika masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap arsip, dia yakin bangsa ini akan memiliki koleksi arsip yang lengkap. “Sebab arsip itu merupakan simpul pemersatu bangsa,” ujarnya.

Yang tak kalah menarik dari UU baru kearsipan ini adalah mengenai pelayanan publik. UU baru ini secara eksplisit memerintahkan ANRI dan lembaga kearsipan lainnya untuk menjalankan fungsi pelayanan publik. Pelayanan publik yang dimaksud adalah mengemban jasa konsultasi. Artinya, apabila ada perusahaan yang kehilangan arsip penting dan memerlukan arsip tersebut, maka perusahaan itu bisa meminta ANRI untuk mengumumkan bahwa arsip tadi masuk DPA. Dengan jasa ANRI, arsip itu bisa diumumkan secara bersamaan, sebab ANRI mengumumkannya secara berkala.

Menanggapi hal ini, Djoko Utomo langsung menyatakan pihaknya siap menjalankan UU ini dengan sebaik-baiknya. “Artinya, kalau lembaga kearsipan yang tidak melayani (masyarakat) dengan baik, juga bisa dikenakan hukuman. Misalnya ANRI tidak bisa memberikan layanan dengan baik, itu juga bisa kena, Jadi adil,” katanya. Oleh sebab itu, dia menyatakan telah memerintahkan jajarannya untuk memberikan pelayanan yang baik. “Saya sudah bilang kepada anak buah saya, kalau ada orang datang meminta informasi arsip dan karena kesalahan kita tidak bisa memberikan, maka saya akan mengenakan sanksi. Ini memang sifatnya internal (ANRI),” demikian Djoko Utomo.

Ketentuan pidana dalam RUU Kearsipan ini diberlakukan bagi setiap orang yang memiliki arsip tanpa hak, menyimpan dan menyebarluaskan informasi arsip tanpa hak, memusnahkan arsip dengan cara melawan hukum, mengekspor arsip ke luar wilayah negara, membocorkan arsip yang masih dalam status rahasia untuk diakses publik, dan memberikan arsip yang masih dalam status rahasia kepada pihak yang tidak berwenang.
Menurut Taufiq, salah satu hal mendasar yang membedakan arsip dengan informasi lain adalah arsip mempunyai nilai kebuktian yang sangat diperlukan bagi setiap kehidupan, mulai dari orang per orangan sampai kehidupan kenegaraan dan pemerintahan. Berdasarkan pertimbangan itu, maka negara berkepentingan mengatur pengelolaan arsip di setiap lembaga negara dan badan pemerintahan.

Secara sosiologis, kebutuhan terhadap penyempurnaan UU No 7/1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pentingnya pengelolaan dalam suatu sistem yang komprehensif dan terpadu kearsipan lembaga-lembaga negara dan pemerintah. Kebutuhan ini, menurut Taufiq, memiliki kaitan yang erat, dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih, serta penegakan kehidupan demokrasi melalui terciptanya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Reporter :
Ketut Sumerta, SE.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar